I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hasil pertanian
berupa sayur dan buah-buahan merupakan komoditi yang rawan mengalami kerusakan.
Kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas biokimiawi ataupun berkaitan dengan
kehidupan mikroorganisme dalam bahan pangan (Pudjimulyani, 2009).
Kehidupan
mikroorganisme ini ditunjang oleh adanya air yang berperan sebagai nutrien yang
sangat esensial bagi keberlangsungan kehidupan mikroorganisme (Sudarmadji et al., 2010). Maka dari itu, dalam proses pengawetan suatu bahan pangan biasanya
dilakukan pengendalian terhadap air yang terkandung dalam bahan. Pengendalian
jumlah air ini bertujuan untuk memperkecil peluang tumbuhnya mikroorganisme
pada bahan pangan.
Pengawet pangan adalah upaya untuk mencegah, menghambat pertumbuhan
mikroba yang terdapat dalam pangan. Pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu
penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, iradiasi atau dengan penambahan bahan
pengawet. Bahan pengawet makanan adalah bahan yang ditambahkan
pada makanan untuk mencegah atau menghambat menjadi rusak atau busuknya makanan.
Maksud dan
tujuan dari pada penggunaan bahan pengawet makanan adalah untuk memelihara
kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan. Beberapa pengawet
yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik yang
disebabkan oleh perubahan kimiawi dalam makanan tersebut.
Pengawet yang diizinkan menurut Permenkes No.722/1988 adalah : Asam Benzoat, Asam Propionat.
Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Etil p-Hidroksi Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium
Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalkum Nitrat, Kalium Nitril, Kalium Propionat,
Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium
Sorbat, Natrium Benzoat, Metil-p-hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium
Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium
Sulfit, Nisin dan Propil-p-hidroksi-benzoit. Bahaya penggunaan zat pengawet yang
tidak diizinkan, sebagai contoh penggunaan formalin yang sering digunakan untuk
mengawetkan tahu dan mie basah dapat menyebabkan : kanker paru-paru, gangguan
pada jantung, gangguan pada alat pencernaan, gangguan pada ginjal dan sebagainya.
Bahan pengawet lain
yang dapat mengontrol kadar air pada bahan pangan adalah gula. Gula akan
meningkatkan konsentrasi di luar sel bahan hasil pertanian. Akibatnya, terjadi perbedaan
tekanan yang menyebabkan air yang berada di dalam sel tertarik ke luar sel,
sehingga sel mengerut. Tertariknya air ke luar sel dapat mengurangi resiko
berkembang biaknya mikroorganisme pada suatu bahan. Pada umumnya, pengolahan
makanan dengan gula kerap dikombinasikan dengan teknik pengolahan menggunakan
asam, pengolahan fisik seperti pengeringan, serta penambahan bahan-bahan kimia
seperti bahan pengawet (Estiasih et al.,
2009).
Penggunaan gula
sebagai bahan pengawet seringkali diaplikasikan pada produk buah-buahan,
seperti jam, jeli, dan marmalade. Produk-produk ini memanfaatkan teknik
pengawetan dengan gula yang juga bergantung pada keberadaan pektin dan asam
dengan komposisi yang tepat.
B. Tujuan
Tujuan praktikum teknologi pengawetan ini
adalah :
1. Mempelajari
peranan konsentrat gula dalam mengontrol kadar air.
2. Mengetahui
hubungan konsentrasi gula terhadap lama penyimpanan daun singkong.
3. Mengetahui
konsentrasi gula yang tepat dalam pengawetan daun singkong.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Daun Singkong
Daun singkong dikenal banyak mengandung
protein, hidrat arang, fosfor, maupun zat besi. Selain itu, daun singkong pun
banyak mengandung vitamin A, B1, serta vitamin C. Kandungan protein daun
singkong ternyata sangat tinggi. Secara umum, dalam berat yang sama dengan
berat telur, berat protein (nabati) yang dikandung daun singkong lebih kurang
sama dengan yang dikandung telur. Hasil penelitian terhadap 150 jenis
singkong yang diteliti, jenis-jenis
singkong yang kandungan protein dalam daunnya tergolong paling rendah, pun
masih mengandung lebih dari 60% macam asam amino esensial. Namun, daun singkong
ternyata juga mengandung racun, yang dalam jumlah besar cukup berbahaya. Racun singkong
yang selama ini telah kita kenal baik adalah sianida, yang bila mengkonsumsi
pada jumlah besar akan mengakibatkan kepala pening-pening, mual, perut terasa
perih, badan gemetar, bahkan pingsan. Namun keberadaan zat kimia ini pada
jumlah yang membahayakan hanya terdapat pada singkong yang memang termasuk golongan
beracun saja. Jenis racun yang selalu ada dalam daun semua jenis singkong
adalah linamarin. Racun ini paling banyak terdapat di kulit ketela, kemudian di
kulit batang, dan terakhir di daun (Ahira, 2010).
B. Gula
Gula
adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi
sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan
dalam bentuk kristal
sukrosa
padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa
menjadi manis
dan keadaan makanan atau minuman.
Gula sederhana, seperti glukosa
(yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam) dapat menyimpan energi
yang akan digunakan oleh sel.
Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira
tebu,
bit
gula,
atau aren.
Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa.
Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia,
anggur, atau jagung, juga menghasilkan semacam gula/pemanis namun bukan
tersusun dari sukrosa. Menurut Estiasih et
al.(2009), proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstrasi
(pemerasan) diikuti dengan pemurnian melalui distilasi
(penyulingan).
Negara-negara penghasil gula
terbesar adalah negara-negara dengan iklim hangat seperti Australia, Brazil, dan Thailand. Hindia-Belanda
(sekarang Indonesia) pernah menjadi produsen gula utama dunia pada tahun
1930-an, namun kemudian tersaingi oleh industri gula baru yang lebih efisien.
Pada tahun 2001/2002 gula yang diproduksi di negara
berkembang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gula yang diproduksi
negara maju. Penghasil gula terbesar adalah Amerika
Latin, negara-negara Karibia, dan negara-negara Asia Timur.
Lain halnya dengan bit, gula bit diproduksi di tempat dengan iklim yang lebih
sejuk, Eropa Barat
Laut dan Timur, Jepang utara, dan beberapa daerah di Amerika Serikat, musim
penumbuhan bit berakhir pada pemanenannya di bulan September. Pemanenan dan
pemrosesan berlanjut sampai Maret di beberapa kasus. Lamanya pemanen dan
pemrosesan dipengaruhi dari ketersediaan tumbuhan, dan cuaca. Bit yang telah
dipanen dapat disimpan untuk di proses lebih lanjut, namum bit yang membeku
tidak bisa lagi diproses (Muchtadi, 2010).
C. Pengawetan Pangan
Pengawet pangan adalah upaya untuk mencegah, menghambat
pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam pangan. Menurut Desrorier
(2008), pengawetan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penggunaan suhu rendah, suhu tinggi,
iradiasi atau dengan penambahan bahan pengawet. Produk-produk pangan dalam
kemasan yang diproses dengan panas atau disebut sterilisasi komersil seperti
kornet dalam kaleng atau susu steril dalam kemasan tetrapak tidak menggunakan
bahan pengawet karena proses termal sudah cukup untuk memusnahkan mikroba
pembusuk dan patogen. Produk-produk ini akan awet lebih dari setahun
meskipun disimpan pada suhu kamar. Ada pula produk pangan dalam kemasan yang menggunakan
bahan pengawet, misalnya sambal, selai dan jem dalam botol. Kedua jenis
produk ini setelah dibuka biasanya tidak segera habis, sehingga supaya awet
terus pada suhu kamar maka produk ini membutuhkan bahan tambahan pangan
pengawet.
D. Vitamin C
Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang
larut dalam air dan
memiliki peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit.
Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk
utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan
yang mampu menangkal berbagai radikal
bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam menjadi asam
dehidroaskorbat. Buah-buahan, seperti jeruk, merupakan
sumber utama vitamin ini (Safaryani et
al., 2007).
Vitamin C memiliki struktur yang
sederhana namun sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Menurut Sudarmadji et al. (2010), pada pH tinggi, vitamin C
cenderung lebih stabil dibandingkan pada pH rendah. Vitamin C dapat membentuk
ikatan dengan iodin, sehingga ikatan rangkapnya hilang.
Vitamin C diperlukan untuk menjaga
struktur kolagen,
yaitu sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit,
urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia. Struktur kolagen yang
baik dapat menyembuhkan patah tulang, memar, pendarahan kecil, dan luka ringan. Hipoaskorbemia (defisiensi
asam askorbat) bisa berakibat keadaan pecah-pecah di lidah scorbut, baik di mulut maupun perut, kulit kasar, gusi tidak sehat
sehingga gigi mudah goyah dan lepas, perdarahan di bawah kulit (sekitar mata
dan gusi), cepat lelah, otot
lemah dan depresi. Di samping itu, asam askorbat juga berkorelasi dengan masalah
kesehatan lain, seperti kolestrol tinggi, sakit jantung,
artritis
(radang sendi), dan pilek (Almatsier, 2010).
III.
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A. Tempat
dan Waktu
Praktikum teknologi pengawetan ini dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Pertanian (KHP) Jurusan
Teknologi Pertanian Universitas Sriwijaya pada hari Senin tanggal 10 Oktober 2011 mulai pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.
B. Alat
dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum
ini antara lain adalah 1)
gelas
Beaker, 2) neraca analitik, 3) pengaduk.
Adapun bahan yang digunakan antara lain adalah 1)
air, 2) amilum,
3) daun singkong, 4) garam,
5) gula, 6) larutan iodin, 7)tawas.
C. Metode Praktikum
Metode yang digunakan pada praktikum
ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) yang mengkombinasikan 2
faktor perlakuan berupa 3 taraf perlakuan terhadap konsentrasi gula dan 3 taraf perlakuan terhadap lama penyimpanan.
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 2 kali, dengan kode
perlakuan sebagai berikut:
1) Konsentrasi
gula (A)
A1
= 40% gula(b/v)
A2
= 50% gula(b/v)
A3
= 60% gula(b/v)
2) Lama
penyimpanan (B)
B1 = 0 minggu
B2 = 1 minggu
B3 = 2 minggu
D. Cara
Kerja
Cara kerja praktikum teknologi
pengawetan ini adalah:
1.
Lakukan perlakuan pendahuluan dengan
mencuci dan merendam daun singkong pada air mendidih selama ± 5 menit.
2.
Rendam daun singkong ke dalam larutan
gula dengan berbagai konsentrasi dan simpan sesuai dengan perlakuan untuk
kemudian diamati.
E. Parameter
Parameter yang diamati pada
praktikum ini antara lain berupa persen kerusakan dan kadar vitamin C.
1.
Persen
Kerusakan
Persentase kerusakan bahan diamati
dengan membandingkan luas permukaan daun yang masih segar terhadap luas permukaan daun awal (Misnani,
2010). Persen kerusakan bahan ini dihitung dengan rumus:
2.
Kadar
Vitamin C
Kadar vitamin C dapat diamati
melalui titrasi iodin (Sudarmadji et al.,
2010). Sejumlah sampel dihaluskan dan diberi aquades 100mL. Endapan dipisahkan
dengan kertas saring dan filtratnya sebanyak 5mL dititrasikan dengan iodin 0,01
N dan indikator amilum, hingga terbentuk warna biru. Tiap 1mL iodin 0,01 N
ekuivalen dengan 0,88mg asam askorbat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Persen
Kerusakan
Analisa persen kerusakan bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi pada daun singkong dengan perlakuan yang
berbeda. Analisa persen
kerusakan dapat diamati secara visual dengan kasat mata. Daun singkong yang
telah mengalami perubahan warna menjadi kuning, berjamur, serta mengkerut
akibat menunjukkan daun singkong telah rusak. Pada penyimpanan minggu ke-0
dengan konsentrasi gula 40% daun singkong tidak mengalami kerusakan. Pada penyimpanan
minggu ke-2 daun singkong dengan sampel A2B2 dengan konsentrasi gula 50%
mengalami penurunan kerusakan. Sedangkan daun singkong dengan sampel A2B3
dengan konsentrasi gula 50% mengalami peningkatan kerusakan selama penyimpanan.
Persen kerusakan tertinggi adalah daun singkong dengan sampel A2B3 konsentrasi
50% sedangkan terendah adalah sampel A2B2 dengan konsentrasi 50% (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik
pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap persen kerusakan daun singkong
Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa kelompok perlakuan,
kombinasi faktor perlakuan, serta perlakuan B berpengaruh sangat nyata terhadap
persen kerusakan daun singkong. Sedangakan kombinasi perlakuan A berpengaruh tidak
nyata terhadap persen kerusakan daun singkong. Interaksi antar faktor perlakuan
berpengaruh nyata terhadap persen kerusakan daun singkong pada tabel 1.
Tabel 1. Analisis Sidik
Ragam (Ansira)
SK
|
db
|
JK
|
KT
|
F hitung
|
F tabel
|
|
5%
|
1%
|
|||||
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
|
1
8
2
2
4
|
73,2
4347,07
30,02
4216,42
100,63
|
73,2
543,38
15,01
2108,21
25,15
|
13,07**
97,03**
2,68ns
376,46**
4,49*
|
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
|
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
|
Error
|
8
|
44,8
|
5,6
|
|
|
|
Total
|
17
|
4665,07
|
|
|
|
|
Hasil
uji BNJ terhadap persentase kerusakan daun singkong dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Uji
BNJ terhadap persentase kerusakan daun singkong
Perlakuan
|
Rerata
|
BNJ0,05=9,6
|
BNJ0,01=12,8
|
A1B1
A2B1
A3B1
A2B2
A3B2
A1B2
A1B3
A3B3
A2B3
|
0
0
0
10,85
11,35
13,2
33,2
33,8
43,15
|
a
a
a
b
b
b
c
c
c
|
a
a
a
a
a
ab
c
c
c
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama
pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata
Uji BNJ (tabel 2) menunjukkan pada
taraf uji 5%, faktor perlakuan B1 berbeda nyata dengan faktor perlakuan B2,
serta berbeda nyata pula dengan faktor perlakuan B3. Pada taraf uji 1%,
perlakuan A1B2 berbeda sangat nyata dengan faktor perlakuan B3, tetapi berbeda
tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Maka dari itu, dinyatakan bahwa faktor
perlakuan B3 adalah perlakuan terburuk atau minimum sehingga pada faktor
perlakuan B3 kerusakan daun singkong meningkat.
Kerusakan-kerusakan
yang umum terjadi adalah kerusakan fisiologis, kerusakan mekanis, kerusakan
mikrobiologis dan kerusakan fisik. Kerusakan fisiologi meliputi kerusakan yang
disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan, atau oleh enzim-enzim
yang terdapat didalamnya secara alami sehingga terjadi proses autolisis yang
berakhir dengan kerusakan dan pembusukan (Syarief dan Irawati,
2007). Kerusakan mekanis dapat terjadi karena
adanya luka atau kerusakan tersebut akan
mempercepat kemunduran produk dan serangan mikroba pembusuk (Soesanto,
2006). Kerusakan mikrobiologis yang disebabkan oleh
bakteri, ragi atau jamur akan terjadi apabila kondisi bahan sesuai dengan
kebutuhan hidup mikrobia. Daun
singkong yang telah mengalami kerusakan fisiologis
maupun mekanis merupakan media yang baik bagi perkembangan mikrobia (Susanto
dan Saneto, 2006).
B.
Kadar
Vitamin C
Analisa kadar vitamin C bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar kandungan vitamin C yang terdapat pada daun
singkong dengan perlakuan yang berbeda.
Pada grafik (gambar 2) menunjukkan tingkat fluktuasi kadar vitamin C dalam daun
singkong dengan pengaruh faktor perlakuan. Pada penyimpanan minggu ke-0 dan
minggu ke-2 dengan konsentrasi gula masing-masing 40% dan 60% mengalami
penurunan kadar vitamin C untuk setiap sampel. Pada penyimpanan minggu ke-1
daun singkong dengan sampel A2B2 dengan konsetrasi gula 50% mengalami penurunan
vitamin C. Sedangkan daun singkong dengan sampel A2B3 mengalami peningkatan
kandungan vitamin C selama penyimpanan. Kadar vitamin C tertinggi adalah pada
sampel A1B1 dengan konsentrasi 40% sedangkan terendah pada sampel A3B3 dengan
konsentrasi 60%. (Gambar 2). Grafik menunjukkan hasil bahwa untuk faktor
perlakuan B3 kadar vitamin C daun singkong menurun.
Gambar 2. Grafik
pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap kadar vitamin C daun singkong
Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa seluruh faktor perlakuan pengawetan
maupun interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin C pada daun
singkong (Lampiran 2). Lamanya penyimpanan dan konsentrasi gula berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin
C daun singkong, tetapi kadar vitamin C pada daun singkong mengalami penurunan
dengan seluruh faktor perlakuan.
Tabel 3. Analisis Sidik
Ragam (Ansira)
SK
|
db
|
JK
|
KT
|
F hitung
|
F tabel
|
|
5%
|
1%
|
|||||
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
|
1
8
2
2
4
|
0,01
0,125
0,08
0,03
0,015
|
0,01
0,016
0,04
0,015
0,0038
|
0,27ns
0,43ns
1,08ns
0,41ns
0,1ns
|
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
|
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
|
Error
|
8
|
0,295
|
0,037
|
|
|
|
Total
|
17
|
0,43
|
|
|
|
|
Proses kerusakan atau penurunan vitamin
C ini menurut Helmiyasi (2008) disebut oksidasi. Secara umum reaksi oksidasi
vitamin C ada dua macam yaitu proses oksidasi spontan dan proses oksidasi tidak
spontan. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi yang terjadi tanpa menggunakan enzim atau
katalisator. Sedangkan proses oksidasi tidak
spontan yaitu reaksi yang terjadi dengan
adanya penambahan enzim atau katalisator,
misal enzim glutation. Enzim ini adalah
suatu tripeptida yang terdiri dari asam
glutamat, sistein, dan glisin.
Aktivitas enzim yang berperan dalam perombakan
vitamin C masih berlangsung terus dengan bertambahnya waktu penyimpanan
sehingga kadar penurunan vitamin C meningkat. Winarno dkk (2006) menjelaskan bahwa
keaktifan enzim dipengaruhi oleh waktu.
IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh
dari praktikum ini adalah :
1. Kelompok
perlakuan, kombinasi faktor perlakuan, serta perlakuan B berpengaruh sangat
nyata terhadap persen kerusakan daun singkong.
2. Interaksi
antar faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap persen kerusakan daun
singkong.
3. Kombinasi
perlakuan A berpengaruh tidak nyata terhadap persen kerusakan daun singkong.
4. Lamanya
penyimpanan dan konsentrasi gula
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin C daun singkong.
LAMPIRAN
1.
Persen
Kerusakan
Data
hasil pengukuran persen kerusakan pada daun singkong
Perlakuan
|
Ulangan
|
||||
I
|
II
|
||||
Luas awal (cm²)
|
% rusak
|
Luas awal (cm²)
|
%rusak
|
||
A1
|
B1
|
231
|
0
|
161
|
0
|
B2
|
192,5
|
10,3
|
249,9
|
16,1
|
|
B3
|
147
|
39
|
157,5
|
27,4
|
|
A2
|
B1
|
222,25
|
0
|
161
|
0
|
B2
|
159,25
|
9,1
|
211,75
|
12,6
|
|
B3
|
180,25
|
51,2
|
152,25
|
35,1
|
|
A3
|
B1
|
152,25
|
0
|
171,5
|
0
|
B2
|
187,43
|
13,7
|
124,25
|
9
|
|
B3
|
210
|
40,4
|
166,25
|
27,2
|
Data
pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap persentase kerusakan daun singkong
Perlakuan
|
Kelompok
|
Jumlah
|
Rerata
|
||
I
|
II
|
||||
A1
|
B1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
B2
|
10,3
|
16,1
|
26,4
|
13,2
|
|
B3
|
39
|
27,4
|
66,4
|
33,2
|
|
A2
|
B1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
B2
|
9,1
|
12,6
|
21,7
|
10,85
|
|
B3
|
51,2
|
35,1
|
86,3
|
43,15
|
|
A3
|
B1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
B2
|
13,7
|
9
|
22,7
|
11,35
|
|
B3
|
40,4
|
27,2
|
67,6
|
33,8
|
|
Jumlah
|
|
163,7
|
127,4
|
291,1
|
16,17
|
Analisis
Sidik Ragam (Ansira)
SK
|
db
|
JK
|
KT
|
F hitung
|
F tabel
|
|
5%
|
1%
|
|||||
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
|
1
8
2
2
4
|
73,2
4347,07
30,02
4216,42
100,63
|
73,2
543,38
15,01
2108,21
25,15
|
13,07**
97,03**
2,68ns
376,46**
4,49*
|
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
|
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
|
Error
|
8
|
44,8
|
5,6
|
|
|
|
Total
|
17
|
4665,07
|
|
|
|
|
Keterangan
: **
= berpengaruh sangat nyata
* = berpengaruh nyata
ns =
berpengaruh tidak nyata
Perhitungan Uji Beda Nyata Jujur terhadap persentase
kerusakan daun singkong
Sy
Q0,05(9,8)
= 5,77 Q0,01(9,8) =
7,68
2. Kadar Vitamin C
Data
hasil pengukuran vitamin C daun singkong
Perlakuan
|
Ulangan
|
||||
I
|
II
|
||||
iodin (mL)
|
vit C (mg)
|
iodin (mL)
|
vit C (mg)
|
||
A1
|
B1
|
0,5
|
0,44
|
0,3
|
0,264
|
B2
|
0,3
|
0,264
|
0,4
|
0,352
|
|
B3
|
0,3
|
0,264
|
0,3
|
0,264
|
|
A2
|
B1
|
0,3
|
0,264
|
0,3
|
0,264
|
B2
|
0,2
|
0,176
|
0,1
|
0,088
|
|
B3
|
0,3
|
0,264
|
0,2
|
0,176
|
|
A3
|
B1
|
0,3
|
0,264
|
0,2
|
0,176
|
B2
|
0,2
|
0,176
|
0,1
|
0,088
|
|
B3
|
0,1
|
0,088
|
0,1
|
0,088
|
Data
pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap kadar vitamin C daun singkong
Perlakuan
|
Ulangan
|
Jumlah
|
Rerata
|
||
I
|
II
|
||||
A1
|
B1
|
0,44
|
0,264
|
0,704
|
0,352
|
B2
|
0,264
|
0,352
|
0,616
|
0,308
|
|
B3
|
0,264
|
0,264
|
0,528
|
0,264
|
|
A2
|
B1
|
0,264
|
0,264
|
0,528
|
0,264
|
B2
|
0,176
|
0,088
|
0,264
|
0,132
|
|
B3
|
0,264
|
0,176
|
0,44
|
0,22
|
|
A3
|
B1
|
0,264
|
0,176
|
0,44
|
0,22
|
B2
|
0,176
|
0,088
|
0,264
|
0,132
|
|
B3
|
0,088
|
0,088
|
0,176
|
0,088
|
|
Jumlah
|
|
2,2
|
1,76
|
3,96
|
0,22
|
Analisis
Sidik Ragam (Ansira)
SK
|
db
|
JK
|
KT
|
F hitung
|
F tabel
|
|
5%
|
1%
|
|||||
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
|
1
8
2
2
4
|
0,01
0,125
0,08
0,03
0,015
|
0,01
0,016
0,04
0,015
0,0038
|
0,27ns
0,43ns
1,08ns
0,41ns
0,1ns
|
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
|
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
|
Error
|
8
|
0,295
|
0,037
|
|
|
|
Total
|
17
|
0,43
|
|
|
|
|
Keterangan : ns =
berpengaruh tidak nyata