TeHape adaLah..

"katakan kami BANGGA tercatat sebagai mahasiswa THP.."

kita akan mengubah dunia jika kita melakukannya dengan sebaik-baiknya..!!

Kamis, 14 Juni 2012

PENGAWETAN DAUN SINGKONG BERBASIS KONTROL KADAR AIR DENGAN KONSENTRASI GULA 40-60%


I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
     Hasil pertanian berupa sayur dan buah-buahan merupakan komoditi yang rawan mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas biokimiawi ataupun berkaitan dengan kehidupan mikroorganisme dalam bahan pangan (Pudjimulyani, 2009).
     Kehidupan mikroorganisme ini ditunjang oleh adanya air yang berperan sebagai nutrien yang sangat esensial bagi keberlangsungan kehidupan mikroorganisme (Sudarmadji et al., 2010). Maka dari itu, dalam  proses pengawetan suatu bahan pangan biasanya dilakukan pengendalian terhadap air yang terkandung dalam bahan. Pengendalian jumlah air ini bertujuan untuk memperkecil peluang tumbuhnya mikroorganisme pada bahan pangan.
     Pengawet pangan adalah upaya untuk mencegah, menghambat pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam  pangan. Pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, iradiasi atau dengan penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet makanan adalah bahan yang ditambahkan pada makanan untuk mencegah atau menghambat menjadi rusak atau busuknya makanan. Maksud dan tujuan dari pada penggunaan bahan pengawet makanan adalah untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dalam makanan tersebut.
Pengawet yang diizinkan menurut Permenkes No.722/1988 adalah : Asam Benzoat, Asam Propionat. Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Etil p-Hidroksi Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalkum Nitrat, Kalium Nitril, Kalium Propionat, Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium Sorbat, Natrium Benzoat, Metil-p-hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium Sulfit, Nisin dan Propil-p-hidroksi-benzoit. Bahaya penggunaan zat pengawet yang tidak diizinkan, sebagai contoh penggunaan formalin yang sering digunakan untuk mengawetkan tahu dan mie basah dapat menyebabkan : kanker paru-paru, gangguan pada jantung, gangguan pada alat pencernaan, gangguan pada ginjal dan sebagainya.
     Bahan pengawet lain yang dapat mengontrol kadar air pada bahan pangan adalah gula. Gula akan meningkatkan konsentrasi di luar sel bahan hasil pertanian. Akibatnya, terjadi perbedaan tekanan yang menyebabkan air yang berada di dalam sel tertarik ke luar sel, sehingga sel mengerut. Tertariknya air ke luar sel dapat mengurangi resiko berkembang biaknya mikroorganisme pada suatu bahan. Pada umumnya, pengolahan makanan dengan gula kerap dikombinasikan dengan teknik pengolahan menggunakan asam, pengolahan fisik seperti pengeringan, serta penambahan bahan-bahan kimia seperti bahan pengawet (Estiasih et al., 2009).
     Penggunaan gula sebagai bahan pengawet seringkali diaplikasikan pada produk buah-buahan, seperti jam, jeli, dan marmalade. Produk-produk ini memanfaatkan teknik pengawetan dengan gula yang juga bergantung pada keberadaan pektin dan asam dengan komposisi yang tepat.

B.       Tujuan
            Tujuan praktikum teknologi pengawetan ini adalah :
1.      Mempelajari peranan konsentrat gula dalam mengontrol kadar air.
2.      Mengetahui hubungan konsentrasi gula terhadap lama penyimpanan daun singkong.
3.      Mengetahui konsentrasi gula yang tepat dalam pengawetan daun singkong.








II.  TINJAUAN PUSTAKA
A.    Daun Singkong
      Daun singkong dikenal banyak mengandung protein, hidrat arang, fosfor, maupun zat besi. Selain itu, daun singkong pun banyak mengandung vitamin A, B1, serta vitamin C. Kandungan protein daun singkong ternyata sangat tinggi. Secara umum, dalam berat yang sama dengan berat telur, berat protein (nabati) yang dikandung daun singkong lebih kurang sama dengan yang dikandung telur. Hasil penelitian terhadap 150 jenis singkong  yang diteliti, jenis-jenis singkong yang kandungan protein dalam daunnya tergolong paling rendah, pun masih mengandung lebih dari 60% macam asam amino esensial. Namun, daun singkong ternyata juga mengandung racun, yang dalam jumlah besar cukup berbahaya. Racun singkong yang selama ini telah kita kenal baik adalah sianida, yang bila mengkonsumsi pada jumlah besar akan mengakibatkan kepala pening-pening, mual, perut terasa perih, badan gemetar, bahkan pingsan. Namun keberadaan zat kimia ini pada jumlah yang membahayakan hanya terdapat pada singkong yang memang termasuk golongan beracun saja. Jenis racun yang selalu ada dalam daun semua jenis singkong adalah linamarin. Racun ini paling banyak terdapat di kulit ketela, kemudian di kulit batang, dan terakhir di daun (Ahira, 2010).  

B.     Gula
      Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam) dapat  menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggur, atau jagung, juga menghasilkan semacam gula/pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa. Menurut Estiasih et al.(2009), proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstrasi (pemerasan) diikuti dengan pemurnian melalui distilasi (penyulingan).
            Negara-negara penghasil gula terbesar adalah negara-negara dengan iklim hangat seperti Australia, Brazil, dan Thailand. Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) pernah menjadi produsen gula utama dunia pada tahun 1930-an, namun kemudian tersaingi oleh industri gula baru yang lebih efisien. Pada tahun 2001/2002 gula yang diproduksi di negara berkembang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gula yang diproduksi negara maju. Penghasil gula terbesar adalah Amerika Latin, negara-negara Karibia, dan negara-negara Asia Timur. Lain halnya dengan bit, gula bit diproduksi di tempat dengan iklim yang lebih sejuk, Eropa Barat Laut dan Timur, Jepang utara, dan beberapa daerah di Amerika Serikat, musim penumbuhan bit berakhir pada pemanenannya di bulan September. Pemanenan dan pemrosesan berlanjut sampai Maret di beberapa kasus. Lamanya pemanen dan pemrosesan dipengaruhi dari ketersediaan tumbuhan, dan cuaca. Bit yang telah dipanen dapat disimpan untuk di proses lebih lanjut, namum bit yang membeku tidak bisa lagi diproses (Muchtadi, 2010).

C.    Pengawetan Pangan
Pengawet pangan adalah upaya untuk mencegah, menghambat pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam pangan. Menurut Desrorier (2008), pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, iradiasi atau dengan penambahan bahan pengawet. Produk-produk pangan dalam kemasan yang diproses dengan panas atau disebut sterilisasi komersil seperti kornet dalam kaleng atau susu steril dalam kemasan tetrapak tidak menggunakan bahan pengawet karena proses termal sudah cukup untuk memusnahkan mikroba pembusuk dan patogen. Produk-produk ini akan awet lebih dari setahun meskipun disimpan pada suhu kamar. Ada pula produk pangan dalam kemasan yang menggunakan bahan pengawet, misalnya sambal, selai dan jem dalam botol. Kedua jenis produk ini setelah dibuka biasanya tidak segera habis, sehingga supaya awet terus pada suhu kamar maka produk ini membutuhkan bahan tambahan pangan pengawet.

D.    Vitamin C
            Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai radikal bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam menjadi asam dehidroaskorbat. Buah-buahan, seperti jeruk, merupakan sumber utama vitamin ini (Safaryani et al., 2007).
            Vitamin C memiliki struktur yang sederhana namun sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Menurut Sudarmadji et al. (2010), pada pH tinggi, vitamin C cenderung lebih stabil dibandingkan pada pH rendah. Vitamin C dapat membentuk ikatan dengan iodin, sehingga ikatan rangkapnya hilang.
            Vitamin C diperlukan untuk menjaga struktur kolagen, yaitu sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit, urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia. Struktur kolagen yang baik dapat menyembuhkan patah tulang, memar, pendarahan kecil, dan luka ringan. Hipoaskorbemia (defisiensi asam askorbat) bisa berakibat keadaan pecah-pecah di lidah scorbut, baik di mulut maupun perut, kulit kasar, gusi tidak sehat sehingga gigi mudah goyah dan lepas, perdarahan di bawah kulit (sekitar mata dan gusi), cepat lelah, otot lemah dan depresi. Di samping itu, asam askorbat juga berkorelasi dengan masalah kesehatan lain, seperti kolestrol tinggi, sakit jantung, artritis (radang sendi), dan pilek (Almatsier, 2010).

III.             PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A.    Tempat dan Waktu
            Praktikum  teknologi pengawetan ini dilakukan di  Laboratorium Kimia Hasil Pertanian (KHP)  Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sriwijaya  pada hari Senin tanggal 10 Oktober 2011 mulai pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.

B.     Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain adalah 1) gelas Beaker, 2) neraca analitik, 3) pengaduk.
            Adapun bahan yang digunakan antara lain adalah 1) air, 2) amilum, 3) daun singkong, 4) garam, 5) gula, 6) larutan iodin, 7)tawas.

C.    Metode Praktikum
            Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) yang mengkombinasikan 2 faktor perlakuan berupa 3 taraf perlakuan terhadap  konsentrasi gula dan 3 taraf  perlakuan terhadap lama penyimpanan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 2 kali, dengan kode perlakuan sebagai berikut:
1)      Konsentrasi gula (A)
A1 = 40% gula(b/v)
A2 = 50% gula(b/v)
A3 = 60% gula(b/v)
2)      Lama penyimpanan (B)
B1 = 0 minggu
B2 = 1 minggu
B3 = 2 minggu

D.    Cara Kerja
            Cara kerja praktikum teknologi pengawetan ini adalah:
1.      Lakukan perlakuan pendahuluan dengan mencuci dan merendam daun singkong pada air mendidih selama ± 5 menit.
2.      Rendam daun singkong ke dalam larutan gula dengan berbagai konsentrasi dan simpan sesuai dengan perlakuan untuk kemudian diamati.

E.     Parameter
            Parameter yang diamati pada praktikum ini antara lain berupa persen kerusakan dan kadar vitamin C.
1.      Persen Kerusakan
            Persentase kerusakan bahan diamati dengan membandingkan luas permukaan daun yang masih segar  terhadap luas permukaan daun awal (Misnani, 2010). Persen kerusakan bahan ini dihitung dengan rumus:

2.      Kadar Vitamin C
            Kadar vitamin C dapat diamati melalui titrasi iodin (Sudarmadji et al., 2010). Sejumlah sampel dihaluskan dan diberi aquades 100mL. Endapan dipisahkan dengan kertas saring dan filtratnya sebanyak 5mL dititrasikan dengan iodin 0,01 N dan indikator amilum, hingga terbentuk warna biru. Tiap 1mL iodin 0,01 N ekuivalen dengan 0,88mg asam askorbat.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      Persen Kerusakan
Analisa persen kerusakan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi pada daun singkong dengan perlakuan yang berbeda. Analisa persen kerusakan dapat diamati secara visual dengan kasat mata. Daun singkong yang telah mengalami perubahan warna menjadi kuning, berjamur, serta mengkerut akibat menunjukkan daun singkong telah rusak. Pada penyimpanan minggu ke-0 dengan konsentrasi gula 40% daun singkong tidak mengalami kerusakan. Pada penyimpanan minggu ke-2 daun singkong dengan sampel A2B2 dengan konsentrasi gula 50% mengalami penurunan kerusakan. Sedangkan daun singkong dengan sampel A2B3 dengan konsentrasi gula 50% mengalami peningkatan kerusakan selama penyimpanan. Persen kerusakan tertinggi adalah daun singkong dengan sampel A2B3 konsentrasi 50% sedangkan terendah adalah sampel A2B2 dengan konsentrasi 50% (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap persen kerusakan daun singkong

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kelompok perlakuan, kombinasi faktor perlakuan, serta perlakuan B berpengaruh sangat nyata terhadap persen kerusakan daun singkong. Sedangakan kombinasi perlakuan A berpengaruh tidak nyata terhadap persen kerusakan daun singkong. Interaksi antar faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap persen kerusakan daun singkong pada tabel 1.
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam (Ansira)
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
5%
1%
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
1
8
2
2
4
73,2
4347,07
30,02
4216,42
   100,63 
73,2
543,38
15,01
2108,21
25,15
13,07**
97,03**
2,68ns
376,46**
4,49*
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
Error
8
44,8
  5,6



Total
17
4665,07





Hasil uji BNJ terhadap persentase kerusakan daun singkong dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Uji BNJ terhadap persentase kerusakan daun singkong

Perlakuan
Rerata
BNJ0,05=9,6
BNJ0,01=12,8
A1B1
A2B1
A3B1
A2B2
A3B2
A1B2
A1B3
A3B3
A2B3
0
0
0
10,85
11,35
13,2
33,2
33,8
43,15
a
a
a
  b
  b
  b
   c
   c
   c
a
a
a
a
a
ab
   c
   c
   c
Keterangan :  Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

Uji BNJ (tabel 2) menunjukkan pada taraf uji 5%, faktor perlakuan B1 berbeda nyata dengan faktor perlakuan B2, serta berbeda nyata pula dengan faktor perlakuan B3. Pada taraf uji 1%, perlakuan A1B2 berbeda sangat nyata dengan faktor perlakuan B3, tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Maka dari itu, dinyatakan bahwa faktor perlakuan B3 adalah perlakuan terburuk atau minimum sehingga pada faktor perlakuan B3 kerusakan daun singkong meningkat.
Kerusakan-kerusakan yang umum terjadi adalah kerusakan fisiologis, kerusakan mekanis, kerusakan mikrobiologis dan kerusakan fisik. Kerusakan fisiologi meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan, atau oleh enzim-enzim yang terdapat didalamnya secara alami sehingga terjadi proses autolisis yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan (Syarief dan Irawati, 2007). Kerusakan mekanis dapat terjadi karena adanya luka atau kerusakan tersebut akan mempercepat kemunduran produk dan serangan mikroba pembusuk (Soesanto, 2006). Kerusakan mikrobiologis yang disebabkan oleh bakteri, ragi atau jamur akan terjadi apabila kondisi bahan sesuai dengan kebutuhan hidup mikrobia. Daun singkong yang telah mengalami kerusakan fisiologis maupun mekanis merupakan media yang baik bagi perkembangan mikrobia (Susanto dan Saneto, 2006).


B.       Kadar Vitamin C

Analisa kadar vitamin C bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kandungan vitamin C yang terdapat pada daun singkong dengan perlakuan yang berbeda. Pada grafik (gambar 2) menunjukkan tingkat fluktuasi kadar vitamin C dalam daun singkong dengan pengaruh faktor perlakuan. Pada penyimpanan minggu ke-0 dan minggu ke-2 dengan konsentrasi gula masing-masing 40% dan 60% mengalami penurunan kadar vitamin C untuk setiap sampel. Pada penyimpanan minggu ke-1 daun singkong dengan sampel A2B2 dengan konsetrasi gula 50% mengalami penurunan vitamin C. Sedangkan daun singkong dengan sampel A2B3 mengalami peningkatan kandungan vitamin C selama penyimpanan. Kadar vitamin C tertinggi adalah pada sampel A1B1 dengan konsentrasi 40% sedangkan terendah pada sampel A3B3 dengan konsentrasi 60%. (Gambar 2). Grafik menunjukkan hasil bahwa untuk faktor perlakuan B3 kadar vitamin C daun singkong menurun.

Gambar 2. Grafik pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap kadar vitamin C daun singkong

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa seluruh faktor perlakuan pengawetan maupun interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin C pada daun singkong (Lampiran 2). Lamanya penyimpanan dan konsentrasi gula  berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin C daun singkong, tetapi kadar vitamin C pada daun singkong mengalami penurunan dengan seluruh faktor perlakuan.
Tabel 3. Analisis Sidik Ragam (Ansira)
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
5%
1%
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
1
8
2
2
4
0,01
0,125
0,08
0,03
   0,015 
0,01
0,016
0,04
0,015
0,0038
0,27ns
0,43ns
1,08ns
0,41ns
0,1ns
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
Error
8
0,295
  0,037



Total
17
0,43





Proses kerusakan atau penurunan vitamin C ini menurut Helmiyasi (2008) disebut oksidasi. Secara umum reaksi oksidasi vitamin C ada dua macam yaitu proses oksidasi spontan dan proses oksidasi tidak spontan. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi yang terjadi tanpa menggunakan enzim atau katalisator. Sedangkan proses oksidasi tidak spontan yaitu reaksi yang terjadi dengan adanya penambahan enzim atau katalisator, misal enzim glutation. Enzim ini adalah suatu tripeptida yang terdiri dari asam glutamat, sistein, dan glisin.
Aktivitas enzim yang berperan dalam perombakan vitamin C masih berlangsung terus dengan bertambahnya waktu penyimpanan sehingga kadar penurunan vitamin C meningkat. Winarno dkk (2006) menjelaskan bahwa keaktifan enzim dipengaruhi oleh waktu.



IV.   KESIMPULAN

A.  Kesimpulan
            Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini adalah :
1.      Kelompok perlakuan, kombinasi faktor perlakuan, serta perlakuan B berpengaruh sangat nyata terhadap persen kerusakan daun singkong.
2.      Interaksi antar faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap persen kerusakan daun singkong.
3.      Kombinasi perlakuan A berpengaruh tidak nyata terhadap persen kerusakan daun singkong.
4.      Lamanya penyimpanan dan konsentrasi gula  berpengaruh tidak nyata terhadap kadar vitamin C daun singkong.


LAMPIRAN
1.      Persen Kerusakan
Data hasil pengukuran persen kerusakan pada daun singkong
Perlakuan
Ulangan
I
II
Luas awal (cm²)
% rusak
Luas awal (cm²)
%rusak
A1
B1
231
0
161
0
B2
192,5
10,3
249,9
16,1
B3
147
39
157,5
27,4
A2
B1
222,25
0
161
0
B2
159,25
9,1
211,75
12,6
B3
180,25
51,2
152,25
35,1
A3
B1
152,25
0
171,5
0
B2
187,43
13,7
124,25
9
B3
210
40,4
166,25
27,2

Data pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap persentase kerusakan daun singkong
Perlakuan
Kelompok
Jumlah
Rerata
I
II
A1
B1
0
0
0
0
B2
10,3
16,1
26,4
13,2
B3
39
27,4
66,4
33,2
A2
B1
0
0
0
0
B2
9,1
12,6
21,7
10,85
B3
51,2
35,1
86,3
43,15
A3
B1
0
0
0
0
B2
13,7
9
22,7
11,35
B3
40,4
27,2
67,6
33,8
Jumlah

163,7
127,4
291,1
16,17


Analisis Sidik Ragam (Ansira)
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
5%
1%
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
1
8
2
2
4
73,2
4347,07
30,02
4216,42
   100,63 
73,2
543,38
15,01
2108,21
25,15
13,07**
97,03**
2,68ns
376,46**
4,49*
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
Error
8
44,8
  5,6



Total
17
4665,07




Keterangan :  **   =   berpengaruh sangat nyata
                        *    =   berpengaruh nyata
                        ns   =  berpengaruh tidak nyata

Perhitungan Uji Beda Nyata Jujur terhadap persentase kerusakan daun singkong

Sy
Q0,05(9,8) = 5,77             Q0,01(9,8) = 7,68



2.  Kadar Vitamin C
Data hasil pengukuran vitamin C daun singkong
Perlakuan
Ulangan
I
II
iodin (mL)
vit C (mg)
iodin (mL)
vit C (mg)
A1
B1
0,5
0,44
0,3
0,264
B2
0,3
0,264
0,4
0,352
B3
0,3
0,264
0,3
0,264
A2
B1
0,3
0,264
0,3
0,264
B2
0,2
0,176
0,1
0,088
B3
0,3
0,264
0,2
0,176
A3
B1
0,3
0,264
0,2
0,176
B2
0,2
0,176
0,1
0,088
B3
0,1
0,088
0,1
0,088

Data pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap kadar vitamin C daun singkong
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rerata
I
II
A1
B1
0,44
0,264
0,704
0,352
B2
0,264
0,352
0,616
0,308
B3
0,264
0,264
0,528
0,264
A2
B1
0,264
0,264
0,528
0,264
B2
0,176
0,088
0,264
0,132
B3
0,264
0,176
0,44
0,22
A3
B1
0,264
0,176
0,44
0,22
B2
0,176
0,088
0,264
0,132
B3
0,088
0,088
0,176
0,088
Jumlah

2,2
1,76
3,96
0,22


Analisis Sidik Ragam (Ansira)
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
5%
1%
Kelompok
Kombinasi
A
B
Interaksi
1
8
2
2
4
0,01
0,125
0,08
0,03
   0,015 
0,01
0,016
0,04
0,015
0,0038
0,27ns
0,43ns
1,08ns
0,41ns
0,1ns
5,32
3,44
4,46
4,46
3,64
11,26
6,03
8,65
8,65
7,01
Error
8
0,295
  0,037



Total
17
0,43




Keterangan :  ns   =  berpengaruh tidak nyata